langkap, papringan, kaliwungu, semarang. reknawan indiarta. akademi maritim.

Multi Guna Jaya

Minggu, 28 Maret 2010

hukum pelayaran

25.1.1 Hukum pelayaran di Singapura secara luas mencakup bidang-bidang pengangkutan barang melalui laut, hukum kelautan (admiralty law) dan peraturan tentang pelayaran perdagangan. Sejauh menyangkut pengangkutan barang melalui laut, hukum Singapura sebagian besar serupa dengan hukum Inggris. Common law principles dan dua undang-undang, yaitu Carriage of Goods by Sea Act (Undang-Undang tentang Pengangkutan Barang Melalui Laut) dan Bills of Lading Act (Undang-Undang tentang Bills of Lading) membentuk bagian utama hukum tentang pengangkutan melalui laut. Peraturan utama tentang hukum kelautan (admiralty law) dan yurisdiksinya adalah High Court (Admiralty Jurisdiction) Act of Singapore (Undang-Undang Singapura tentang Pengadilan Tinggi (Yurisdiksi Kelautan) yang mengikuti UK Administration of Justice 1956. Hukum pelayaran perdagangan Singapura dimasukkan ke dalam Merchant Shipping Act (Undang-Undang tentang Pelayaran Perdagangan). Act tersebut merupakan peraturan yang mencakup berbagai bidang yang berbeda seperti kewenangan syahbandar, pendaftaran hipotek, pembatasan tanggung jawab, pendaftaran kapal dan hak awak kapal. Terdapat pula yang mencakup bidang-bidang tertentu seperti polusi di laut.

25.1.2 Bagian pengantar Hukum Pelayaran di Singapura ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang berbagai bidang yang ada di bawah rubrik hukum pelayaran. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, pembaca diharapkan membaca tulisan sebagai berikut (untuk Pengangkutan Barang Melalui Laut, harap lihat buku Profesor (sekarang Hakim) Tan Lee Meng yang berjudul The Law in Singapore on Carriage of Goods by Sea, 1994, 2nd Edn; untuk hukum kelautan (Admiralty law), harap lihat buku Toh Kian Sing yang berjudul Admiralty Law and Practice, 1998)

Kembali ke atas

BAGIAN 2 PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT

25.2.1 Perjanjian pengangkutan barang biasanya mengandung salah satu dari dua bentuk berikut ini: sewa kapal (charterparty) atau bill of lading. Perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Pengajuan relief of rectification atas perjanjian pengangkutan yang dibuat secara tertulis dapat tersedia untuk keadaan-keadaan tertentu (The An Ji Jiang [2003] 4 SLR 348).


Kembali ke atas

BAGIAN 3 PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT: SEWA KAPAL (CHARTERPARTIES)

25.3.1 Sewa kapal adalah suatu kontrak yang berdasarkan mana seluruh kapal atau sebagian besar kapal tersebut dapat digunakan oleh pihak yang menyewa untuk suatu perjalanan (voyage) atau serangkaian perjalanan atau untuk suatu jangka waktu tertentu. Tiga kategori utama sewa kapal adalah a) sewa kapal berdasarkan jangka waktu (time charterparty); b) sewa kapal berdasarkan perjalanan (voyage charterparty) dan c) demise charterparty.

Sewa Kapal Berdasarkan Jangka Waktu (Time Charterparty)

25.3.2 Sewa kapal berdasarkan jangka waktu (time charterparty) adalah suatu kontrak berdasarkan mana nahkoda dan awak kapal menjalankan pekerjaannya untuk suatu jangka waktu tertentu sebagai imbal balik dari pembayaran sewa: lihat Cascade Shipping Inc v Eka Jaya Agencies (Pte) Ltd [1993] 1 SLR 980. Berdasarkan suatu time charterparty, pemilik kapal tetap mempertahankan hak kepemilikan atas kapal dan nahkoda serta awak kapal dipekerjakan oleh pemilik kapal tersebut. Akan tetapi, pihak yang menyewa berhak untuk menentukan bagaimana kapal akan digunakan asalkan penggunaan itu masih dalam batas-batas yang telah disetujui di dalam perjanjian. Dalam time charterparty, risiko keterlambatan ada pada pihak yang menyewa. Sewa kapal biasanya mengatur kejadian-kejadian tertentu yang terjadinya salah satu kejadian itu akan menyebabkan sewa kapal berakhir, yaitu pihak yang menyewa tidak lagi bertanggung jawab atas sewa kapal selama jangka waktu itu. Kejadian-kejadian tersebut termasuk kerusakan mesin kapal, tidak cukupnya awak kapal, mogok, dan lain-lain.

25.3.3 Pihak yang menyewa mempunyai kewajiban untuk menentukan pelabuhan yang aman: lihat Evia (No.2) [1982] 2 Lloyd’s Rep 307. Apabila ditunjuk pelabuhan yang tidak aman, pemilik kapal berhak untuk meminta pihak yang menyewa untuk memilih pelabuhan lainnya. Apabila pihak yang menyewa menolak, pemilik kapal dapat mengakhiri sewa kapal atau pemilik kapal dapat mengirim kapal ke pelabuhan yang tidak aman tersebut akan tetapi pemilik kapal mempunyai hak untuk menuntut kerugian yang timbul.

25.3.4 Jangka waktu time charterparty umumnya tergantung pada marjin yang ditentukan secara tegas atau marjin yang implisit (express or implied margin). Pihak yang menyewa diwajibkan untuk menyerahkan kembali kapal kepada pemilik kapal dengan keadaan dan kondisi yang baik sebagaimana pada saat kapal diserahkan kepada pihak yang menyewa, dengan pengecualian penggunaan atau kerusakan yang wajar. Penyerahan kembali harus dilakukan pada tanggal pengakhiran sewa kapal dengan mempertimbangkan marjin yang ditentukan secara tegas atau marjin yang implisit (express or implied margin).

Sewa Kapal Berdasarkan Perjalanan (Voyage Charterparty)

25.3.5 Sewa kapal berdasarkan perjalanan (voyage charterparty) adalah suatu kontrak untuk mengangkut barang-barang tertentu dalam suatu perjalanan (voyage) yang sudah ditentukan atau dalam serangkaian perjalanan. Seperti halnya sewa kapal berdasarkan waktu, pemilik kapal tetap mempertahankan hak kepemilikan atas kapal dan mempekerjakan nahkoda dan awak kapal.

25.3.6 Pemilik kapal dibayar berdasarkan pembayaran biaya angkut (freight) yang biasanya dihitung dengan mengacu pada jumlah kargo yang diangkut atau dengan suatu jumlah uang tertentu. Terdapat suatu aturan yang menentang pengurangan biaya angkut sebagai akibat kerusakan atau kehilangan kargo: lihat Dakin v Oxley (1864) 15 CBNS 646. Dalam hal tidak adanya ketentuan yang memberikan hak kepada pemilik kapal atas pembayaran biaya angkut di muka, biaya angkut hanya akan dibayar ketika pemilik kapal telah mengangkut barang ke pelabuhan yang dituju dan dalam keadaan untuk menyerahkan angkutan tersebut kepada pihak yang menyewa. Berdasarkan common law, pemilik kapal berhak melakukan pembebanan atas penguasaan barang (possessory lien) untuk angkutan yang tidak dibayar.

25.3.7 Pemilik kapal harus memastikan bahwa kapalnya layak berlayar pada saat dimulainya perjalanan: lihat McIver & Co Ltd v Tate Steamers Ltd [1903] 1 KB 362. Dalam sistem common law, kewajiban ini bersifat mutlak.

25.3.8 Risiko penundaan dalam voyage charterparty dibebankan pada pemilik kapal. Sementara, untuk kegiatan bongkar dan muat angkutan, risiko penundaan sebaliknya diletakkan pada pihak yang menyewa (charterer) berdasarkan ketentuan mengenai laytime dan demurrage (laytime and demurrage provision). Laytime dimulai ketika kapal tersebut adalah kapal yang tiba yang dalam segala hal siap memuat atau membongkar kargo dan kapal (dalam hal tiba di pelabuhan pengangkut) telah menyampaikan pemberitahuan kesiapan: lihat Johanna Oldendorff [1974] AC 479. Pihak yang menyewa kapal berdasarkan perjalanan diwajibkan untuk memuat dan membongkar kargo dalam jangka waktu laytime sebagaimana ditentukan di dalam sewa kapal atau apabila tidak ditentukan, dalam jangka waktu yang wajar. Dalam hal pihak yang menyewa tidak memuat kargo dalam jangka waktu laytime yang ditentukan atau dalam jangka waktu yang wajar (dalam hal tidak ditentukan jangka waktu laytime), pemilik kapal berhak untuk mengajukan demurrage (dalam bentuk liquidated damages, apabila ketentuan ini ditentukan secara tegas) atau damages karena penahanan.

Sewa Kapal Berdasarkan Demise atau Bareboat

25.3.9 Sewa kapal berdasarkan demise (demise charterparty) adalah kontrak untuk menyewa kapal sebagai chattel. Pihak yang menyewa menjadi pemilik kapal untuk sementara waktu dalam segala hal (kecuali terhadap pemilik kapalnya). Nahkoda dan awak kapal adalah karyawannya. Untuk menentukan apakah suatu sewa kapal adalah suatu demise charterparty, hal ini merupakan masalah penafsiran yang ditentukan dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan sewa kapal (Pan United Shipping Pte Ltd v Cendrawasih Shipping Pte Ltd [2004] SGHC 32). Indikasi penting lainnya adalah apakah nahkoda (master) adalah karyawan pemilik kapal atau pihak yang menyewa. Pihak yang menyewa mempunyai hak penguasaan atas kapal.

25.3.10 Pihak yang menyewa kapal secara demise charterparty mengoperasikan kapal untuk jangka waktu sebagaimana dikehendakinya dengan tunduk pada pembatasan perdagangan atau pembatasan kargo yang ditentukan dalam [perjanjian] sewa kapal. Seperti halnya time charterparty, pihak yang menyewa membayar sewa kapal secara berkala. Demise charterparty kadang-kadang dilakukan dengan kesepakatan pembiayaan jangka panjang atau menengah (lihat Mark Davis, Bareboat Charters, pada bab 24).

Kembali ke atas


BAGIAN 4 PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT: BILLS OF LADING

25.4.1 Berbicara secara luas, bill of lading adalah suatu dokumen yang ditandatangani oleh pemilik kapal atau oleh nahkoda atau seorang agen atas nama pemilik kapal yang menyatakan bahwa barang-barang tertentu yang disebutkan telah dikirimkan dengan kapal tertentu dan menyatakan pula ketentuan-ketentuan pengangkutan barang oleh kapal. Bill of lading mempunyai 3 (tiga) fungsi. Bill of lading mengandung atau membuktikan kontrak pengangkutan, merupakan bukti atas barang-barang yang diangkut dan merupakan dokumen kepemilikan.

Bill of lading sebagai Bukti Kontrak

25.4.2 Bahwa apakah bill of lading adalah bukti kontrak pengangkutan tergantung pada apakah pihak yang menyewa yang memegang bill of lading tersebut. Apabila barang-barang diangkut dengan kapal oleh pihak yang menyewa, bill of lading tidak menggantikan sewa kapal untuk keperluan mengatur hubungan kontraktual antara pemilik kapal dan pihak yang menyewa (lihat President of India v Metcalfe Shipping Co Ltd (The Dunelmia [1970] 1 QB 97).

25.4.3 Apabila pengangkut atau pemegang bill of lading pada saat itu adalah bukan pihak yang menyewa maka ketentuan-ketentuan bill of lading yang mengatur tentang kontrak pengangkutan. Sebagai aturan umum, pengangkut berhak untuk meminta pemilik kapal untuk bertanggung jawab atas barang-barangnya dan meminta penyerahan barang-barang tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan bill of lading. Pemilik kapal karenanya tidak dapat mengandalkan diri pada ketentuan-ketentuan sewa kapal yang tidak dimasukkan di dalam bill of lading. Antara pengangkut dan pemilik kapal, bill of lading membuktikan kontrak pengangkutan dan dalam hal demikian, dapat ditambah atau dibatalkan dengan dokumen tambahan. Akan tetapi, di antara pemilik kapal dan penerima barang (consignee or indorsee) di dalam bill of lading tersebut, bill of lading berisi kontrak pengangkutan.

25.4.4 Ketentuan-ketentuan bill of lading dapat ditambah atau diganti dengan ketentuan-ketentuan Hague or Hague Visby Rules. Bill of lading atas perintah (order bill of lading) dapat dipindahtangankan dengan endosemen kosong atau khusus (blank or special endorsement) atas bill of lading tersebut. Bill of lading atas bawa (bearer bill of lading), yang jarang ada, dapat dipindahtangankan dengan cara penyerahan secara fisik bill of lading tersebut. Bill of lading yang diendosemen secara kosong berfungsi seperti bill of lading atas bawa yang karenanya dapat dipindahtangankan dengan cara penyerahan secara fisik (APL v Voss Peer [2002] 4 SLR 481).

Bill of Lading sebagai Tanda Terima

25.4.5 Bill of lading berfungsi pula sebagai pengakuan penerimaan barang-barang yang disebutkan di dalamnya oleh pengangkut. Bill of lading biasanya berisi bermacam-macam pernyataan (representations) tentang jumlah dan keadaan barang. Apabila bill of lading dibuat dengan adanya unsur penipuan atau kelalaian, pernyataan tersebut dapat dijadikan dasar tindakan oleh pihak ketiga (yang mengalami kerugian karena mengandalkan diri pada bill of lading itu) atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengangkut, khususnya pihak penerima barang (consignees) yang menerima dan membayar dokumen pelayaran dalam keadaan yang apabila fakta sebenarnya telah diungkapkan, penerima barang akan telah menolaknya (lihat The Saudi Prince [1982] 2 Lloyd’s Rep 255).

25.4.6 Bill of lading merupakan bukti prima facie antara pengangkut dan pemilik kapal tentang keadaan, marks dan jumlah barang dan tanggal pengapalan/pemuatan barang. Akan tetapi, antara pemilik kapal dan penerima barang (consignee atau indorsee), pernyataan di dalam bill of lading tidak dapat disangkal oleh pemilik kapal.

25.4.7 Suatu keadaan yang menarik timbul ketika bill of lading mengandung pernyataan bahwa barang-barang ‘diangkut dalam keadaan baik secara jelas’. Kata-kata tersebut mengandung suatu pernyataan fakta bahwa barang-barang diangkut dalam keadaan baik secara jelas hanya menyangkut tampak luar dari barang yang bersangkutan.

25.4.8 Bill of lading sering kali dibubuhi dengan pernyataan seperti ‘menurut keterangannya berisi’, ‘isi dan jumlah tidak diketahui’ dan ‘kontainer terlampir ke kontainer terlampir’ (‘container yard to container yard’) (The American Astronaut [1979] 2 MLJ 220). Pernyataan ‘menurut keterangannya’ adalah pernyataan bill of lading yang tidak efektif (The Thomaseverett [1992] 2 SLR 1068). Dengan pernyataan yang efektif, pemilik kapal dapat menghalangi pernyataan yang dibuat di dalam bill of lading sehingga tidak ada pernyataan (representation) yang timbul dari pernyataan tersebut.

Bill of Lading sebagai Dokumen Kepemilikan

25.4.9 Bill of lading sering kali digambarkan sebagai dokumen kepemilikan yang memberikan kesempatan kepada pemilik barang untuk menerima kredit dalam penjualan internasional. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa bill of lading dapat dianggap sebagai dokumen kepemilikan hanya apabila ia adalah bill of lading ‘perintah’ (an ‘order’ bill) yang berdasarkan itu, pengangkut barang setuju untuk menyerahkan barang di pelabuhan yang dituju kepada pihak yang dituju atau pihak yang ditunjuk atau penggantinya. Bill of lading yang bersifat langsung dan untuk pengiriman (straight, consigned bill of lading) bukanlah dokumen kepemilikan walaupun ia harus ditunjukkan sebelum pengangkut dapat menyerahkan barang-barang yang diangkutnya (APL v Voss Peer [2002] 4 SLR 481).

25.4.10 Sebagai dokumen kepemilikan, bill of lading memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima barang-barang dengan menunjukkan bill of lading tersebut. Karenanya, penyerahan kepada pemegang bill of lading, sekalipun apabila ia belum membayar barang tersebut, membebaskan pemilik kapal dari kewajiban apapun, dengan ketentuan bahwa penyerahan tersebut dibuat dengan itikad baik dan tanpa adanya pemberitahuan tentang cacatnya kepemilikan pemegang barang-barang tersebut atau klaim tandingan (competing claims) atas barang-barang tersebut. Pemilik kapal bertanggung jawab atas pelanggaran perjanjian pengangkutan dan/atau perubahan kargo apabila barang-barang diserahkan ke suatu pihak tanpa adanya bill of lading. Pengangkut yang menyerahkan kargo tanpa bill of lading bertanggung jawab atas penyerahan tersebut (The Cherry [2003] 1 SLR 471, The Jian He [2000] 1 SLR 8, The Arktis Sky[2000] 1 SLR 57).

25.4.11 Penukaran bill of lading adalah praktik yang lumayan sering terjadi akan tetapi hal ini berisiko bagi pemilik kapal, terutama apabila penukaran tidak dilakukan dengan sempurna dan terdapat dua bill of lading yang beredar (lihat Banque Nationale de Paris v Bandung Shipping [2003] 3 SLR 611).

Hak untuk Menuntut berdasarkan Bill of Lading

25.4.12 Sebelum dikeluarkannya Bills of Lading Act (‘BLA’) di Singapura, yang merupakan pari materia dengan UK Carriage of Goods by Sea Act 1992, berdasarkan 1855 Bills of Lading Act, hak untuk menuntut berdasarkan bill of lading tergantung pada beralihnya barang yang dikapalkan berdasarkan bill of lading dengan alasan adanya endosemen atau consignment of the bill of lading. 1855 Bills of Lading Act sudah tidak berlaku lagi.

25.4.13 BLA meninggalkan hubungan antara hak-hak kontraktual dengan beralihnya barang dan memperbolehkan pernyataan atas hak-hak kontraktual terhadap pengangkut tanpa mempertimbangkan beralihnya barang yang dikapalkan tersebut. Karenanya, seseorang yang menjadi pemilik sah bill of lading sebagaimana didefinisikan di dalam BLA, dengan dasar telah menjadi pemegang bill of lading, telah mengalihkan kepada dan memberikan kepada dirinya semua hak untuk menuntut berdasarkan kontrak pengangkutan seolah-olah ia telah menjadi pihak pada perjanjian tersebut (lihat Pasal 2 (1) BLA).

25.4.14 Apabila seseorang dengan kepentingan (interest) atau hak atas barang-barang yang disebutkan di dalam bill of lading mengalami kerugian atau kerusakan (damages) sebagai akibat pelanggaran kontrak pengangkutan akan tetapi hak untuk menuntut atas pelanggaran terletak pada orang lain maka orang lain tersebut berhak untuk melaksanakan hak untuk menuntut untuk kepentingan pihak yang mengalami kerugian atau kerusakan dalam hal yang sama sebagaimana hak tersebut dapat dilaksanakan apabila hak itu terletak pada orang yang berhak untuk melaksanakan hak itu (lihat Pasal 2 (4) BLA).

25.4.15 Bill of lading tidak dapat dialihkan apabila bill of lading itu menyebutkan barang-barang yang disebutkan di dalamnya harus diserahkan kepada suatu pihak yang disebutkan namanya di dalam bill of lading yang karenanya menghapuskan kata-kata tentang pengalihan. Bill of lading seperti itu disebut sebagai bill of lading dengan pengiriman langsung (straight consigned bill of lading). Untuk kepentingan BLA, bill of lading dengan pengiriman langsung diperlakukan sebagai waybill. Di lain pihak, apabila bill of lading menyebutkan bahwa penyerahan dilakukan kepada penerima yang disebutkan namanya (named consignee) atau kepada orang ‘atas perintah atau penerima pengalihannya (his ‘order or assigns’)) atau hanya ‘atas perintah’ (‘to order’), bill of lading tersebut dapat dipindahtangankan dengan cara indorsement dan penyerahan (delivery).

25.4.16 Indorsement dapat dilakukan dengan indorsement khusus (special indorsement), yaitu dapat disebutkan pihak penerima pengalihan yang menerima penyerahan barang. Apabila tidak ada pihak penerima yang disebutkan, indorsement itu disebut ‘indorsement kosong (blank indorsement)’ dan barang-barang yang disebutkan di dalam bill of lading diserahkan kepada pembawa (bearer), tanpa indorsement. Akan tetapi, pembawa atau pemilik bill of lading pada setiap saat, dapat mengubah indorsement kosong menjadi indorsement khusus dengan memasukkan nama orang yang menerima penyerahan barang ke dalam indorsement. Sebagaimana jelas terlihat dalam putusan Singapura di dalam Bandung Shipping v Keppel TatLee Bank Ltd [2003] 1 SLR 295, dalam keadaaan ini, bill of lading menjadi tidak dapat dialihkan hanya dengan penyerahan semata-mata dan membutuhkan indorsement dari indorsee yang namanya disebutkan di dalam indorsement khusus sebelum ia dapat dialihkan lebih lanjut.

25.4.17 Apabila seseorang menjadi pemegang yang sah bill of lading berdasarkan BLA dan mengambil atau meminta penyerahan barang-barang yang disebutkan di dalam bill of lading dari pengangkut atau mengajukan tuntutan kepada pengangkut berdasarkan kontrak pengangkutan sehubungan dengan barang-barang yang diangkut, orang tersebut akan menjadi tunduk pada kewajiban-kewajiban yang ada pada kontrak pengangkutan seolah-olah ia telah menjadi pihak pada perjanjian tersebut.

Carriage of Goods by Sea Act Singapura dan Hague-Visby Rules

Ruang Lingkup Hague-Visby Rules

25.4.18 Berdasarkan Carriage of Goods by Sea Act, Hague-Visby Rules (selanjutnya disebut ‘HVR’) mempunyai kekuatan hukum di Singapura (lihat Epar [1985] 2 MLJ 3; Pacific Electric Wire & Cable Co Ltd v Neptune Orient Lines Ltd [1993] 3 SLR 60). HVR berlaku atas setiap bill of lading yang terkait dengan pengangkutan barang antar pelabuhan di dua negara yang berbeda apabila bill of lading dikeluarkan oleh negara anggota HVR atau pengangkutan berasal dari pelabuhan negara anggota HVR atau kontrak yang disebutkan di dalam atau dibuktikan dengan bill of lading menyebutkan bahwa aturan atau peraturan suatu negara memberikan kekuatan berlaku kepada HVR untuk mengatur pengangkutan (lihat Art X).

25.4.19 HVR berlaku hanya pada kontrak-kontrak pengangkutan yang tercakup di dalam bill of lading, termasuk bill of lading dengan pengiriman langsung (straight consigned bill of lading) (lihat Rafaela S [2005] All ER (D) 236) atau dokumen kepemilikan serupa sepanjang dokumen tersebut menyangkut pengangkutan barang melalui laut. HVR berlaku untuk jangka waktu sejak barang-barang dimuat ke dalam kapal sampai dengan saat barang-barang tersebut dikeluarkan/dibongkar dari kapal.

25.4.20 Pengangkut terikat untuk melakukan pemeriksaan yang seksama untuk memastikan bahwa kapal layak berlayar sebelum dan pada saat dimulainya perjalanan (lihat Art 3 rule 1 HVR). Kewajiban berdasarkan Rules untuk melaksanakan pemeriksaan yang seksama untuk memastikan kapal layak berlayar menggantikan kewajiban mutlak (absolute obligation) dalam sistem common law untuk menyediakan kapal yang layak berlayar. Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada pengangkut dalam keadaan-keadaan tertentu, pengangkut diwajibkan berdasarkan Art 3 rule 2 HVR untuk memuat, menangani, menyusun, membawa, menjaga, melindungi dan membongkar barang-barang yang diangkut sebagaimana mestinya dan secara berhati-hati.

25.4.21 Pengangkut menerima pembatasan paket dan berat (package and weight limitations) sebanyak Franc 10.000 (S$ 1.563,65) per paket and Franc 30 (S$ 4,69) per kilogram berdasarkan HVR. Terdapat pula daftar yang dikecualikan berdasarkan Article 4 rule 2 HVR yang dapat digunakan oleh pengangkut asalkan pengangkut telah memenuhi kewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan yang seksama untuk menyediakan kapal yang layak berlayar.

25.4.22 Pengangkut dilepaskan dari seluruh tanggung jawab apapun sehubungan dengan barang-barang yang diangkut kecuali apabila tuntutan itu diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal penyerahan atau tanggal ketika barang sudah seharusnya diserahkan. Jangka waktu 1 (satu) tahun ini dapat diperpanjang apabila para pihak menyetujuinya setelah adanya alasan untuk memperpanjang jangka waktu itu.

25.4.23 Pengecualian, batasan jangka waktu dan pembatasan tanggung jawab yang diberikan oleh HVR tidak dapat dikurangi lebih lanjut untuk kepentingan pengangkut (Art 3 rule 8 HVR; lihat pula Epar [1985] 2 MLJ 3).

Kesepakatan Yurisdiksi

25.4.24 Klausula yurisdiksi dapat dimasukkan ke dalam kontrak pengangkutan berdasarkan mana para pihak setuju untuk memilih forum khusus untuk penyelesaian perselisihan yang timbul dari kontrak. Akan tetapi, para pihak dapat melanggar klausula yurisdiksi atau arbitrasae tersebut untuk mengambil keuntungan dari pertahanan pembatasan jangka waktu (time bar defences) atau batas tanggung jawab yang lebih tinggi yang tersedia di forum lain yang bukan yurisdiksi atau arbitrase yang telah disetujui. Apabila pelanggaran tersebut terjadi, pihak tergugat dapat mengajukan stay of the proceedings.

25.4.25 Apabila terdapat klausula yuridiksi asing, pengadilan akan menghormati pilihan itu secara prima facie akan tetapi pengadilan mempunyai kewenangan untuk menolak permohonan stay apabila fakta dan keadaan yang sangat luar biasa yang memberikan alasan yang kuat untuk memberikan penolakan (lihat Amerco Timbers Pte Ltd v Chatsworth Timber Corp Pte Ltd [1975-1977] SLR 258). Terdapat sejumlah putusan pengadilan Singapura yang menolak pemberian stay apabila klaim yang diajukan adalah penyerahan kargo tanpa menunjukkan bill of lading, yang dalam hal ini biasanya tidak ada pembelaan (defence) (lihat, misalnya The Jian He [2000] 1 SLR 8).

25.4.26 Seperti halnya apabila terdapat klausula arbitrase, pengadilan pada umumnya akan menghormati klausula tersebut. Dalam kasus-kasus yang tunduk pada Arbitration Act (pada umumnya, arbitrase domestik), kewenangan untuk memberikan stay bersifat kewenangan (discretionary); stay dapat ditolak apabila, misalnya, tuntutan secara jelas tidak dapat diperselisihkan. Akan tetapi, berdasarkan International Arbitration Act Singapura (yang umumnya mengatur arbitrase internasional), tuntutan stay yang berada dalam ruang lingkup klausula arbitrase bersifat wajib, pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menolak permohonan stay.


Kembali ke atas



BAGIAN 5 HUKUM KELAUTAN (ADMIRALTY LAW)

Sifat Tindakan Kelautan in Rem

25.5.1 Tindakan kelautan in rem (admiralty action in rem) adalah tindakan melawan suatu barang (res) yang umumnya adalah kapal akan tetapi dapat pula termasuk properti maritim (maritime properties) lainnya, seperti kargo dan angkutan. Tindakan in rem dikategorikan berdasarkan jasa atas barang (service on the res) dan penahanan barang (arrest of the res). Pihak tergugat atas suatu tindakan in rem adalah pemilik kapal (lihat Kuo Fen Ching v Dauphin Offshore Engineering [1999] 3 SLR 721). Kecuali dilepaskan, barang tersebut kemudian dijual secara sah tanpa adanya pembebanan. Putusan yang diberikan dalam tindakan in rem yang dibuat terhadap barang dan hasil penjualan barang kemudian akan digunakan untuk memenuhi klaim penggugat dan klaim pihak lainnya (apabila ada) menurut urutan prioritas yang telah ditentukan.

25.5.2 Akan tetapi, sering kali, prosedur ini tidak mengakhiri penjualan secara hukum (judicial sale) atas barang karena pemilik barang akan memberikan jaminan atas klaim tersebut (security for the claim) dan barang kemudian dilepaskan. Ketika pemilik memilih untuk mempertahankan tindakan tersebut, tindakan itu kemudian berkembang menjadi tindakan campuran, yaitu in rem dan in personam (lihat August 8 [1983] 2 AC 450). Suatu tindakan in rem adalah tindakan melawan secara luas sedangkan tindakan in personam adalah tindakan melawan orang tertentu.

25.5.3 Inti permasalahan yurisdiksi kelautan ditentukan di dalam sub-section (a) sampai dengan (r) section 3 (1) of HCAJA. Section 3 (1) (a) - (r) dalam banyak hal serupa dengan section 20 (2) (a) - (s) UK Supreme Court Act, 1981.

Penundukan (Invocation) pada Yurisdiksi Kelautan

25.5.4 Di Singapura, suatu barang (res) hanya dapat disita apabila ia berasal dari teritori laut dan batas pelabuhan Singapura (lihat The Trade Resolve [1999] 4 SLR 424). Yurisdiksi kelautan dapat digunakan atas kapal atau properti maritime (maritime properties) lainnya. ‘Kapal’ termasuk bagian-bagiannya, mesin dan lambung. Dua macam properti maritim yang dapat menjadi obyek tindakan in rem untuk menjamin tuntutan adalah kargo dan muatan yang telah dibebani dengan pembebanan maritim (maritime lien).

25.5.5 Sejauh menyangkut penundukan diri (invocation) yuridiksi kelautan, section 4 HCAJA membagi tuntutan maritim (maritime claims) menjadi 4 (empat) kategori, yaitu i) tindakan in rem yang diajukan atas kapal atau properti lainnya untuk tuntutan yang dimaksud dalam section 3 (1) (a) - (c) and (r) HCAJA; ii) tindakan in rem yang diajukan terhadap kapal, pesawat atau properti lainnya yang dibebani dengan pembebanan maritim (maritime lien) atau pembebanan (charge) lainnya; iii) tuntutan yang diajukan berdasarkan section 3 (1) (d) - (q) High Court (Admiralty Jurisdiction) Act yang timbul sehubungan dengan kapal, dengan ketentuan bahwa hubungan kepemilikan untuk kepentingan (nexus beneficial ownership) antara pemilik kapal/pihak yang menyewa/pihak yang memiliki atau menguasai kapal yang dipersengketakan ketika alasan bertindak (cause of action) muncul dan kapal yang dipersengketakan atau kapal lainnya (sister ship) pada saat tindakan in rem dilakukan (yaitu ketika writ dikeluarkan; dan iv) sejak tanggal 1 April 2004, tuntutan yang berasal dari dalam section 3 (1) (d) - (q) High Court (Admiralty Jurisdiction) Act (Undang-Undang tentang Pengadilan Tinggi (Yurisdiksi Kelautan)) yang timbul sehubungan dengan kapal, dengan ketentuan bahwa pemilik/pihak yang menyewa/pihak yang memiliki atau menguasai kapal yang dipersengketakan ketika alasan bertindak (cause of action) muncul adalah pihak yang menyewa kapal berdasarkan demise pada saat tindakan in rem dilakukan. Yurisdiksi kelautan digunakan ketika kapal disita atau dengan adanya writ in rem atas kapal tersebut (writ in rem) (The Fierbinti [1994] 3 SLR 864).

Prinsip ‘Satu Klaim, Satu Kapal’ (‘One Claim, One Ship’)

25.5.6 Berdasarkan hukum Singapura, sita atas kapal lain (sister ship) diizinkan pada saat writ dikeluarkan. Dalam praktik, kapal yang dipersengketakan atau kapal lain disebutkan kedua-duanya di dalam satu writ. Akan tetapi sejak digunakannya yurisdiksi kelautan yang berkaitan dengan satu kapal untuk satu klaim, pengugat tidak dapat menggugat kapal lainnya yang disebutkan di dalam writ untuk klaim yang sama. Penggugat harus mengeluarkan kapal lainnya dari writ: lihat The Damavand [1993] 2 SLR 717 yang memberlakukan The Banco [1971] P 137. Tidak ada hal-hal yang dapat menghalangi penuntut untuk mengubah writ-nya untuk mengeluarkan satu atau beberapa klaim, yang kemudian dapat membentuk dasar untuk tindakan in rem kelautan yang terpisah (The Damavand [1993] 2 SLR 717).

Prosedur untuk Menyita Kapal

25.5.7 Tindakan kelautan (admiralty action) dimulai dengan diajukannya writ in rem. Pihak yang bermaksud untuk menyita kapal harus mengajukan perintah penyitaan (warrant of arrest) yang untuk mendukung permohonan tersebut, suatu pernyataan fakta di bawah sumpah (affidavit) harus disampaikan. Pihak yang bermaksud untuk menyita kapal berkewajiban untuk memberikan pengungkapan yang penuh dan jelas kepada pengadilan tentang semua fakta material: The Rainbow Spring [2003] 3 SLR 362. Kapal disita ketika perintah penyitaan dilekatkan pada tiang bendera kapal atau di luar bagian kapal yang layak untuk suatu jangka waktu singkat (lihat order 70 rule 10 Rules of Court).

Perlawanan (Caveat) Terhadap Sita

25.5.8 Suatu pihak yang bermaksud untuk menghalangi penyitaan atas kapal atau properti lainnya dapat mengajukan perlawanan (caveat) atas penyitaan. Pihak yang mengajukan perlawanan setuju untuk memberikan uang jaminan untuk menghalangi penyitaan kapal. Meskipun perlawanan tidak menjamin sita tidak akan dilakukan, perlawanan tersebut bagaimanapun merupakan tindakan untuk menangguhkan sita. Hal ini karena apabila pengugat tidak dapat menunjukkan adanya alasan yang baik dan cukup untuk sita tersebut sekali pun ada perlawanan, pengadilan dapat memerintahkan ia untuk membayar kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan atas kerugian yang timbul dari sita serta pelepasan perintah sita.

Sita yang Salah

25.5.9 Suatu pihak dapat bertanggung jawab apabila sita kapal dilakukan dengan mala fides (dengan itikad buruk) atau dengan crassa neligentia, yaitu kelalaian yang jelas (gross negligence) yang menunjukkan adanya maksud jahat (The Kiku Pacific [1999] 2 SLR 595). Analisis untuk melakukan sita kapal tidak didasarkan pada tidak adanya sebab (cause) yang beralasan atau mungkin ada untuk penyitaan kapal. Apabila sita kapal dilakukan dengan itikad buruk atau dengan kelalaian yang jelas yang menunjukkan adanya maksud jahat (crassa neligentia), pihak yang menyita dapat bertanggung jawab atas sita yang dilakukan dengan itikad buruk itu: The Evmar [1989] SLR 474.

Jaminan

25.5.10 Pemilik kapal yang kapalnya disita atau dinyatakan akan disita dapat meminta pelepasan (release) kapal atau penundaan sita dengan memberikan jaminan untuk menjamin klaim penggugat. Bentuk jaminan yang lazim adalah uang jaminan (bail), letter of undertaking from a protection and indemnity club (‘P&I’) (surat pernyataan dari badan perlindungan dan penggantian kerugian), bank garansi (bank guarantee) atau pembayaran kepada pengadilan (payment into court) sehubungan dengan tuntutan penggugat. Meskipun bentuk dan ketentuan jaminan adalah hal-hal yang dinegosiasikan dan disetujui oleh para pihak, pengadilan Singapura dapat memerintahkan penggugat untuk menerima P&I club letter of undertaking daripada menerima uang jaminan: lihat The Arcadia Sprit [1988] SLR 244. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan di dalam The Arktis Fighter [2001] 3 SLR 394, pengadilan akan menolak memerintahkan penggugat untuk menerima P&I club letter of undertaking apabila terdapat bukti bahwa club dapat tidak menghargai (honour) jaminan yang diberikannya untuk kepentingan pemilik kapal.

25.5.11 Di dalam menentukan jumlah jaminan yang akan diberikan, pengadilan seharusnya merasa puas apabila jumlah yang akan diberikan kelihatannya cukup untuk memenuhi tuntutan penggugat sekalipun hal ini kadang-kadang menyebabkan pengadilan melakukan kesalahan karena bertindak terlalu royal. Penggugat berhak atas jaminan dalam kasus yang mempunyai dasar yang beralasan (reasonably best arguable case) berikut bunga dan ongkos (The Moschanthy [1971] 1 Lloyd’s Rep 37).

Pembebanan (Liens)

25.5.12 Pada umumnya ada 3 (tiga) tipe pembebanan (lien) yang terkait dengan hukum kelautan: i) pembebanan maritim (maritime lien); ii) pembebanan penguasaan (possessory lien) dan iii) pembebanan berdasarkan peraturan perundang-undangan (statutory liens).

25.5.13 Maritime lien adalah pembebanan (encumbrance or charge) atas barang (res) yang timbul dari waktu ketika klaim yang mendasari maritime lien melekat pada barang, ada pada barang, tidak terpengaruhi perubahan kepemilikan atas barang dan menjadi efektif dengan tindakan in rem. Sebagai aturan umum, pihak yang menerima maritime lien menikmati prioritas yang lebih tinggi daripada penuntut maritim (maritime claimants) lainnya. Kategori klaim yang telah terbentuk yang menimbulkan maritime lien adalah penyelamatan (salvage), kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (damage done by a ship), gaji nahkoda (master’s wages), pengeluaran nahkoda (master’s disbursements), gaji awak kapal (crew’s wages) dan bottomry.

25.5.14 Tidak seperti maritime liens, possessory lien hanya ada apabila pihak yang ingin melaksanakan possessory lien terhadap chattel (barang) menjadi menguasai chattel secara hukum dan penguasaan itu terus ada padanya selama ia mempertahankan penguasaan yang tidak diganggu gugat atas chattel tersebut. Possessory lien adalah bentuk pembebanan yang berasal dari sistem common law. Possessory lien ini tidak diikuti dengan hak untuk menjual seperti pledge (pembebanan) dan tidak memberikan hak apapun kepada pemegangnya seperti halnya mortgage (pembebanan). Lien biasanya timbul untuk kepentingan suatu pihak yang telah memberikan peningkatan (improvements) atau perbaikan (repairs) atau dengan cara lain melakukan suatu pekerjaan atas chattel tersebut, seperti pihak yang memperbaiki kapal atau pihak yang tidak mempunyai pilihan selain memberikan jasa kepada chattel seperti pengangkut umum (common carrier). Pemilik kapal juga mempunyai lien atas semua barang yang diangkut ke pihak penerima (consignee) yang sama untuk perjalanan yang sama untuk muatan yang jatuh tempo pada seluruh atau setiap bagiannya. Lien dapat pula dilaksanakan oleh penyelamat (salvors) atas properti yang telah berhasil diselamatkannya.

25.5.15 Sekalipun sebuah kapal dibebani dengan possessory lien, hal tersebut tidak dapat menghalangi penyitaan atas kapal. Lien tidak menjadi berakhir dengan disitanya kapal oleh suatu pihak selain pemegang lien karena penyitaan hanya mengalihkan perlindungan (custody) kapal dan tidak penguasaan atas kapal kepada Sherrif: The Dwima I [1996] 2 SLR 670.

25.5.16 Hak atas tindakan in rem yang bersifat peraturan perundang-undangan (statutory right of action in rem) merujuk pada hak penggugat untuk tunduk pada yuridiksi kelautan dengan cara tindakan in rem sehubungan dengan klaim yang tidak masuk dalam kategori maritime lien. Secara singkat, hak tersebut kadang-kadang disebut statutory lien (pembebanan berdasarkan peraturan perundang-undangan). Klaim yang dapat dilaksanakan dengan cara statutory lien di Singapura disebutkan di dalam section 3 (1) (a) - (r) High Court (Admiralty Jurisdiction) Act. Sekalipun statutory lien adalah sita yang memberikan jaminan sebelum putusan (pre-judgment security) kepada penggugat, tindakan in rem dimulai dengan dikeluarkannya writ in rem. Dengan timbulnya statutory lien melalui pengeluaran writ in rem, statutory lien melekat pada kapal dan tetap dapat dilaksanakan terhadap pembeli kapal yang bona fide tanpa diperlukan adanya pemberitahuan, kecuali apabila kapal telah dijual secara hukum.

Prioritas

25.5.17 Perbandingan prioritas di antara klaim-klaim adalah hal yang penting ketika jumlah keseluruhan klaim melebihi nilai benda karena prioritas ini menentukan urutan berbagai klaim yang diajukan yang akan dibayar dari jumlah dana yang ada pada pengadilan yang diperoleh dari hasil penjualan barang. Aturan prioritas dikategorikan sebagai aturan prosedural dan karenanya tunduk pada lex fori (The Halcyon Isle [1981] AC 221).

Urutan Prioritas

25.5.18 Apabila terdapat bermacam-macam tuntutan atas hasil penjualan barang, urutan klaim yang prima facie dalam urutan prioritasnya adalah sebagai berikut:

- pengeluaran yang dikeluarkan oleh sheriff;

- ongkos pemilik dana (costs of the producer of the fund);

- maritime liens (kecuali possessory liens yang timbul sebelum maritime liens);

- possessory liens;

- mortgages; dan

- statutory liens.

25.5.19 Urutan prioritas yang prima facie yang disebutkan di atas dapat diubah, hal ini karena pengadilan telah menyatakan bahwa ia mempunyai kewenangan untuk mengubah urutan prima facie ini apabila terdapat keadaan istimewa untuk mengubah urutan itu (lihat The Eastern Lotus [1980] 1 MLJ 137).

Kembali ke atas



BAGIAN 6 BERBAGAI ASPEK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SINGAPURA TENTANG PELAYARAN PERDAGANGAN DAN POLUSI MINYAK

Pembatasan Tanggung Jawab

25.6.1 Pembatasan tanggung jawab pemilik kapal untuk klaim maritim ditentukan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan Part VIII Merchant Shipping Act (Undang-Undang tentang Pelayaran Perdagangan) (Cap. 179). Klaim-klaim tersebut termasuk kematian atau luka yang dialami oleh seseorang, kerugian atau kerusakan atas barang yang terjadi di kapal atau sehubungan dengan operasional kapal.

25.6.2 Sebelum Merchant Shipping (Amendment) Act 2004 (Undang-Undang tentang Pelayaran Perdagangan (Perubahan) Tahun 2004), rezim pembatasan tanggung jawab didasarkan pada berat kapal yang ditentukan di dalam 1957 International Convention relating to the Limitation of the Liability of Owners of Sea-going Ships (Konvensi Internasional Tahun 1957 tentang Pembatasan Tanggung Jawab Pemilik Kapal atas Kapal yang Berlayar) (selanjutnya disebut ‘1957 Convention’). Dengan adanya perubahan atas 1957 Convention, Singapura telah mengadopsi Convention on Limitation of Maritime Liability for Maritiem Claims 1976 (Konvensi tentang Pembatasan Tanggung Jawab Maritim untuk Klaim Maritim Tahun 1976) (selanjutnya disebut ‘1976 Convention’). Akan tetapi perubahan hanya menyangkut tanggung jawab yang timbul dari kematian yang terjadi setelah tanggal 1 Mei 2005. Tanggung jawab yang timbul dari kejadian yang terjadi sebelum Part VIII yang baru berlaku, yaitu sebelum 1 Mei 2005, tetap tunduk pada 1957 Convention.

25.6.3 Hal yang mendukung diadopsinya 1976 Convention adalah keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) dalam Sunrise Crane [2004] 4 SLR 715 yang melibatkan klaim atas kerugian yang terjadi pada ‘PRISTINE’ karena kegagalan tergugat untuk memberikan keterangan yang lengkap tentang bahaya kargo yang terkontaminasi oleh nitric acid yang diangkut oleh ‘PRISTINE’. Sekalipun pemilik kapal tergugat telah menunjuk nahkoda dan pegawai yang cakap untuk melayani ‘SUNRISE CRANE’ yang secara khusus dilatih untuk menangani kargo berbahaya seperti nitric acid, hal ini tidak melepaskan tergugat dari kewajibannya sendiri untuk memastikan bahwa telah ada sistem yang layak di kapal untuk menangani kargo tersebut. Karena itu, persyaratan berdasarkan 1957 Convention tentang tidak adanya kesalahan dan prioritas tidak dipenuhi. Pengadilan Banding (Court of Appeal) menilai bahwa perlindungan yang diberikan kepada pemilik kapal berdasarkan 1957 Convention dalam banyak hal menjadi samar (illusory). Perubahan peraturan sebagaimana yang disebutkan di atas, kemudian segera diikuti dan berakhir dengan diadopsinya 1976 Convention.

Polusi Minyak

25.6.4 Di Singapura, terdapat dua peraturan utama yang mengatur tentang polusi minyak. Peraturan tersebut adalah i) Merchant Shipping (Civil Liability and Compensation for Oil Pollution) Act (Cap. 180) (Undang-Undang tentang Pelayaran Perdagangan (Tanggung Jawab dan Kompensasi Perdata untuk Polusi Minyak) (selanjutnya disebut ‘CLC’) dan ii) Prevention of Pollution of the Sea Act (Cap. 343) (Undang-Undang tentang Penghindaran Polusi Laut) (selanjutnya disebut ‘PPSA’).

25.6.5 CLC diundangkan agar International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1992 (Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan akibat Polusi Minyak Tahun 1992) dan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1992 (Konvensi Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional untuk Kompensasi Kerusakan akibat Polusi Minyak Tahun 1992) berlaku di Singapura. CLC mengatur tentang polusi minyak yang disebabkan oleh ‘kapal yang dibangun atau diubah penggunaannya untuk mengangkut minyak di dalam lambungnya sebagai kargo’, yaitu tanker minyak.

25.6.6 PPSA pada dasarnya diundangkan untuk memberikan kekuatan berlaku pada International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Konvensi Internasional tentang Penghindaran Polusi dari Kapal Tahun 1973) sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protocol of 1978 (MARPOL) (Protokol Tahun 1978 (MARPOL)) dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya. Berbicara secara luas, PPSA bermaksud untuk membebankan tanggung jawab kriminal untuk pembuangan (discharge) minyak dan polutan lainnya dari kapal ke perairan Singapura. Lebih lanjut, section 18 PPSA menyebutkan bahwa pemilik kapal yang tertangkap membuang polutan harus bertanggung jawab kepada pejabat berwenang yang ditunjuk untuk membayar ongkos-ongkos yang dikeluarkan dalam rangka mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan secara beralasan oleh pejabat berwenang tersebut untuk menghilangkan efek pembuangan polutan itu serta ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk menghindari atau mengurangi kerugian yang terjadi di Singapura yang timbul dari pembuangan polutan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang mau koment atau tambah masukan silahkan ketik ajah.