langkap, papringan, kaliwungu, semarang. reknawan indiarta. akademi maritim.

Multi Guna Jaya

Minggu, 28 Maret 2010

menejemen kelautan

ua posting terdahulu tentang betapa melimpahnya kekayaan laut yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa kita dan betapa banyak tantangan yang kita hadapi di laut, terutama tiga kelemahan itu (lemah pengamanan, lemah pengawasan, dan lemah koordinasi) sesungguhnya hanyalah sebagian kecil alasan dari sebuah kerja besar yang harus dilakukan – dengan segera! — untuk mengangkat dan memanfaatkan laut sebagai potensi bangsa yang maha dahsyat namun terabaikan itu. Sebelum segala sesuatunya … terlambat!

Sebagai seorang anak bangsa yang tidak memiliki latar pendidikan kelautan, tidak pernah hidup di lautan, tidak berbisnis atau bekerja yang ada hubungannya dengan lautan, maka sesungguhnya tidak ada kapasitas dan kapabilitas sedikitpun pada diri saya untuk memberikan sumbangsih yang layak dan dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah kelautan kita itu. Latar pendidikan saya yang teknik informatika dan pekerjaan saya yang banyak berhubungan dengan pengembangan solusi di bidang teknologi informasi (IT) tentu sangatlah jauh dari laut dan kelautan serta problematikanya.

Namun, sejak tahun 2003 hingga sekarang saya berkesempatan terlibat pada pembangunan Maritime Surveillance System (sistem pengamatan maritim) pada sebuah institusi militer yang domainnya memang laut. Maritime Surveillance System dititikberatkan pada pembangunan stasiun radar pantai dan pemasangan peralatan surveillance di kapal patroli, untuk kemudian data-data hasil pengamatan dari peralatan yang terpasang tersebut dikirim ke pusat data melalui media komunikasi data tertentu untuk ditampilkan sebagai monitoring dan untuk diolah lebih lanjut. Karena itu, sistem ini lebih cenderung berlaku sebagai alat bantu penegakan keamanan di laut, meski sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut sebagai alat bantu pertahanan.

Sedikit pengalaman turut serta membangun sistem tersebut, juga kesempatan bekerja bersama tenaga asing — yang semula membangun stasiun radar pantai tetapi pada akhirnya kita sendiri, tenaga dalam negeri, ternyata juga mampu membangun hal yang sama — memberikan keyakinan kepada saya bahwa sesungguhnya kita sendiri mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri akan sebuah sistem yang kompleks dan rumit yang sebelumnya dinilai hanya bisa dikerjakan oleh tenaga asing. Penggunaan produksi dan tenaga dalam negeri seperti ini sejalan dengan instruksi Presiden RI yang disampaikan dalam berbagai kesempatan, khususnya dalam amanatnya pada Upacara Peringatan HUT TNI ke-63 di Markas Komando Armada Timur (Armatim) pada 14 Oktober 2008. Presiden menyampaikan,

Presiden inspeksi pasukan pada HUT TNI ke-63

“Dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan alutsista, saya instruksikan untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan alutsista produksi dalam negeri melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait. Optimalkan pemanfaatan produk industri pertahanan nasional kita. Tingkatkan kerjasama pengembangan riset dan teknologi, guna mengembangkan industri pertahanan nasional yang tangguh dan sanggup memenuhi kebutuhan pertahanan kita.”

Berangkat dari latar belakang masalah di atas serta sedikit pengalaman berkecimpung dalam pembangunan sistem pengamatan maritim inilah yang saya jadikan sedikit amunisi untuk merumuskan gagasan ini. Sebuah gagasan yang andai saya ditakdirkan menjadi presiden pasti dan pasti akan menjadi salah satu prioritas saya untuk direalisasikan secepatnya. Hanya saja saya tahu diri, “presiden” kelihatannya teramat jauh dari jalan takdir saya. Karena itu, gagasan ini saya titipkan pada presiden Indonesia ke depan, siapapun dia. Tentu jika ia satu ide dengan saya dan sempat membaca dan mencerna tulisan ini.

Gagasan Itu

Saya mencita-citakan dibangunnya sebuah Sistem Informasi Manajemen Kelautan Nasional Terpadu dalam waktu segera (untuk memudahkan penyebutan, selanjutnya saya singkat menjadi SIMLAUNAS TERPADU). Tentu saja ini sistem yang besar. Sangat besar bahkan, baik dari sisi institusi yang akan terlibat maupun cakupan sistemnya. Mengerjakan sistem ini seorang diri, mulai dari penyusunan blue-print (cetak biru) pengembangan sistem, pembangunan dan implementasi sistem di lapangan, adalah hal yang mustahil dilakukan. Bagaimanapun, ini membutuhkan kerja tim. Kerja tim besar.

Oleh karena itu, apa yang saya tulis ini bisa dianggap sebagai stimulus saja untuk menyusun cetak biru dimaksud. Semacam warming up (pemanasan). Lontaran gagasan. Dan tentu saja blog yang terbatas ini bukan tempatnya untuk menampung tulisan detil desain lengkap sebuah blue-print sistem sebesar SIMLAUNAS TERPADU ini.

Sistem ini dibangun untuk memenuhi 4 (empat) aspek yang belum tersentuh dalam pembangunan sistem di lingkungan kelautan nasional. Pertama, informatif. Sistem ini harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut yang kita miliki, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar di lautan kita, dan segala informasi mengenai laut lainnya. Semacam pusat data kelautan nasional dimana idealnya mau mencari data apa saja tentang kelautan bisa ditemukan pada sistem ini.

Kedua, integratif. Tumpang tindihnya pemasangan peralatan surveillance antarinstitusi, barangkali juga tumpang tindihnya sistem yang secara garis besar mungkin sama antarinstitusi, adalah pemicu utama SIMLAUNAS TERPADU ini harus dibangun. Penghematan anggaran negara secara signifikan bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah peralatan atau sistem yang dibangun overlap dalam hal coverage pada suatu daerah ataupun overlap sistem dari sisi fungsinya. Tak jadi soal jika ada selang-seling pemilik peralatan di sepanjang Selat Malaka misalnya, senyampang sistem tersebut bisa diintegrasikan dengan sistem institusi lain. Tukar-menukar data sangat mungkin dilakukan jika protokol, interface, dan format data yang dipertukarkan bisa disepakati. Dan ini adalah hal teknis yang amat mudah.

Kalau ini bisa terjadi, data dari sistem manapun bisa ditampilkan dalam SATU sistem tampilan (display system) yang terpadu tanpa memandang dari mana data masing-masing yang tampil di display berasal. Dengan begitu, keadaan perairan sepanjang Selat Malaka dapat ditampilkan secara sambung-menyambung dan terpadu.

Integrasi ini juga mengandung tuntutan agar sistem juga terbuka dan akomodatif terhadap integrasi dengan sistem identik dari institusi manapun. Suatu saat jika ada institusi baru bergabung dalam SIMLAUNAS TERPADU, maka harusnya dengan mudah sistem tersebut bisa diintegrasikan.

Sedangkan yang ketiga adalah kolaboratif. Hal ini lebih terfokus pada status data yang dipertukarkan dalam sistem ini antarinstitusi. Setiap institusi tentu memiliki data yang sifatnya private untuk institusi tersebut dan tidak perlu diketahui oleh dan dibagi kepada pihak lain. Tetapi ada data yang bisa di-share ke institusi lain atau bahkan disediakan untuk masyarakat umum. Data yang di-share ke institusi lain inilah yang saya maksud dengan kolaboratif.

Salah satu contoh dari banyak kasus di negara ini, kita tahu bahwa data-data perijinan kapal-kapal ikan, asing maupun domestik, yang beroperasi di perairan Indonesia ada di bawah pengawasan dan administrasi DKP. Tetapi di tengah laut, TNI AL berkewajiban menjalankan fungsinya juga sebagai kekuatan keamanan laut. Mereka berhak melakukan henrikhan (penghentian, pemeriksaan, dan penahanan) kapal-kapal ikan. Dasarnya salah satunya surat ijin dari DKP tersebut. Karena ternyata, seperti tertulis pada posting sebelumnya, pelanggaran terbanyak kapal-kapal ikan tersebut di laut (87%) adalah persoalan perijinan. Jika data tersebut bisa di-share tepat pada waktunya – yakni sebelum dan ketika KRI beroperasi – mungkin melalui sarana komunikasi data darat-laut yang memungkinkan — maka data-data up-to-date tersebut tentu sangat membantu proses henrikhan KRI pada saat operasi agar lebih akurat.

Dan yang keempat adalah kemampuan adaptif sistem. Tidak ada sistem yang seratus persen sempurna. Tidak pernah ada sistem yang selesai dibangun – dalam arti yang sebenarnya — kecuali selesai untuk sementara saja. Hal ini dikarenakan user akan semakin cerdas dan pintar setiap kali mengoperasikan sistem tersebut. Ia akan semakin paham dan mengerti sistem. Ia akan semakin banyak tuntutan – yang sesungguhnya wajar. Selalu begitu: setiap kali sistem selesai dibangun, selalu ada requirement baru akibat semakin terdidiknya user terhadap sistem. Karena itu, sistem yang baik adalah yang adaptif terhadap segala perubahan. Termasuk SIMLAUNAS TERPADU. Apalagi sistem ini melibatkan banyak institusi dengan cakupan yang sangat luas.

Studi Kasus

Dari kaca mata pengembangan sistem informasi, saya melihat fakta-fakta di lapangan sebagai berikut:

  1. Sebenarnya banyak pihak (institusi) yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam pengembangan kelautan, baik secara langsung maupun tidak. Sebut saja diantaranya: DKP, Departemen Perhubungan khususnya Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kehutanan, Departemen Pariwisata dan Budaya, Departemen Perdagangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Ditjen Bea Cukai, Pelindo, TNI AL, Kepolisian RI, Kejaksaaan, dan sebagainya. Kini hadir pula sebuah lembaga bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla).
  2. Pengembangan sistem informasi di bidang kelautan biasanya terbatas pada lingkup institusi masing-masing, tanpa melihat adanya keterkaitan dengan institusi lainnya (ego sektoral).
  3. Belum terjadinya sinergi ataupun keterpaduan (integrasi) antarpihak dalam tataran tindakan operasional di bidang kelautan di lapangan, sehingga tumpang-tindih (overlapping) di lapangan bisa dan biasa terjadi
  4. Hal yang sama lebih parah terjadi di level data dan informasi, dimana tidak ada komunikasi data antarpihak secara intensif, cepat, akurat, dan aman, sehingga di satu sisi terjadi kekurangan informasi (lack of information), tetapi di sisi lain terjadi duplikasi informasi (redundancy) antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Baiklah saya ambil tiga institusi yang selama ini dianggap menjadi pilar sektor kelautan nasional. Ketiganya adalah: DKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (selanjutnya disingkat HUBLA).

DKP merupakan institusi resources-based yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan sumber daya kelautan kita. Sedangkan HUBLA merupakan institusi safety-based di laut yang bertanggungjawab terhadap keselamatan lalu-lintas laut. Dan TNI AL sendiri merupakan institusi security-based yang bertanggungjawab terhadap keamanan laut, disamping tulang-punggung kekuatan pertahanan nasional di laut. Jika digambarkan hubungan ketiganya, mungkin seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Keterhubungan Tiga Pilar

Ketiga institusi tersebut pada dasarnya bertugas me-manage dan melakukan pengawasan terhadap kapal dan/atau sumber daya (resources) di laut. DKP misalnya, me-manage kapal patroli yang dimiliki, kapal swasta berijin (known-ships), serta sumber daya di laut. DKP juga memonitor dan melakukan pengawasan terhadap kapal swasta tak berijin (unknown-ships) yang beroperasi, menangkap ikan di perairan Indonesia misalnya. Demikian pula dengan kedua institusi lain.

Dengan demikian, sebenarnya bisa kita lihat bahwa pada suatu area, dua atau bahkan tiga institusi memiliki concern yang sama. Melakukan pengawasan terhadap kapal (jenis apapun: niaga, swasta, perang, dsb.) baik domestik apalagi asing, baik berijin apalagi tak berijin, merupakan area interseksi DKP dan TNI AL. Demikian juga kita bisa lihat terjadi pada area lain. Artinya, sebenarnya pada area-area tersebut sangat mungkin antarinstitusi saling membutuhkan – dalam hal ini data dan informasi. DKP tentu saja tidak bisa melakukan pengawasan terhadap kapal ikan yang beroperasi sampai di tengah laut mengingat keterbatasan kapal patroli yang dimilikinya. Tugas pengawasan tersebut, karenanya, bisa berpindah ke TNI AL yang memiliki armada KRI yang bisa menjangkau seluruh area perairan Indonesia. Untuk bisa melakukan pengawasan itu, tentu saja, KRI harus dibekali dengan informasi yang cukup dari DKP.

Demikian seterusnya. Karena itu, seharusnya antarinstitusi di atas bisa melakukan SHARING dan KOLABORASI data serta informasi yang diperlukan oleh institusi lainnya. DKP misalnya seharusnya bisa menyerahkan daftar kapal-kapal penangkap ikan berikut perijinannya kepada TNI AL. Sebaliknya, TNI AL seharusnya bisa menyerahkan hasil pemeriksaan kapal-kapal yang berhasil dilakukannya di perairan Indonesia kepada DKP. Saya pikir, permasalahannya bukan karena kedua institusi enggan menyerahkan datanya kepada institusi lain, tetapi karena pola hubungan ini belum terwadahi dengan batasan yang jelas. Belum ada “kontrak” yang jelas, siapa menyerahkan apa dan bakal mendapat apa dari pihak lain.

Itulah perlunya disusun blue-print SIMLAUNAS TERPADU. Sesegera mungkin. Serius! Problem di bidang kelautan kita sudah sangat parah. Contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari problem besar kita di laut. Dan apa yang saya tuliskan juga hanya dari kaca mata bidang IT. Dan problem itu semakin besar di lapangan, pada tataran operasional. Belum lagi jika dihadapkan pada perilaku moral aparat di ujung tombak yang kadang menggunakan aji mumpung, sehingga yang terjadi justru “pagar makan tanaman”.

Integratif dan Kolaboratif

Overlap antarinstitusi yang saya maksud di atas bolehlah saya gambarkan seperti hubungan antara ketiga institusi di bawah ini.

Dari ilustrasi tersebut, DKP memiliki VMS (Vessel Monitoring System) untuk memantau kapal patroli dan kapal-kapal ikan berijin yang telah dipasangi peralatan transponder. Dalam perkembangannya, VMS mungkin akan menjadi bagian dari Sistem Informasi Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT). Demikian juga TNI AL telah membangun IMSS (Integrated Maritime Surveillance System) dan juga HUBLA telah membangun VTIS (Vessel Traffic Information System). Masing-masing institusi sangat mungkin memasang peralatan surveillance berupa Radar, AIS (Automatic Identification System) Receiver, mungkin juga kamera jarak jauh, dan peralatan lain di sebuah stasiun radar pantai.

Sekarang bayangkan jika ketiga institusi membangun stasiun radar pantai dengan memasang sistem berikut peralatan yang sama pada daerah yang sama! Apa tidak mubazir dan buang-buang uang negara saja?

Dengan konsep integratif, maka sebenarnya cukup satu institusi saja yang memasang peralatan dan sistem di satu daerah. Sedangkan institusi lain memasang di daerah lain pada jarak tertentu yang tidak overlap dengan lainnya. Masing-masing institusi tidak perlu dan cukup mendapatkan data kolaboratif (sharing) kiriman dari sistem yang dipasang institusi lain pada suatu daerah. Dengan demikian, masing-masing institusi akan mendapatkan data yang lengkap, misal pada Selat Malaka dari Sabang hingga pulau Karimata, tanpa perlu memasang sebanyak titik stasiun radar pantai yang diperlukan. Mereka cukup berbagi (sharing) data dari peralatan dan sistem yang terpasang dengan institusi lainnya.

Dengan cara demikian, maka uang negara bisa dihemat dan peralatan bisa dialihkan ke tempat-tempat lain. Penghematan itu akan semakin signifikan jika kita perhatikan gambar di bawah ini.

Celah Masuk Indonesia

Bagaimanapun jika kita perhatikan, negara Indonesia kita ini memiliki “celah masuk” yang terbuka dari segenap penjuru. Jika setiap celah dan sepanjang selat yang kita miliki harus dipasang stasiun radar pantai untuk titik-titik pengamatan laut, berapa banyak peralatan harus dipasang? Jika masing-masing institusi memasang sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi, tidak terintegrasi, berapa banyak peralatan overlap yang terpasang sia-sia?

Jika kita di dalam negeri masih berselisih, terpisah-pisah antarinstitusi, dan tetap melestarikan ego sektoral masing-masing, maka “gempuran” terhadap NKRI dari segenap penjuru – dalam bentuk apapun — dan hal itu semakin memporak-porandakan kita sebenarnya tinggal menunggu waktu saja.

SIMLAUNAS TERPADU adalah salah satu solusi terhadap banyak kelemahan yang terjadi pada kelautan nasional kita. Salah satu solusi saja. Tetapi, jika sistem ini bisa terbangun dengan baik, manfaatnya sungguh sangat besar bagi memonitor situasi kelautan nasional yang sangat kita perlukan. Jika bukan kita sendiri yang melakukannya, siapa lagi?

Konklusi

Maka demikianlah. Sebuah SIMLAUNAS TERPADU harus segera diwujudkan. Embrionya bahkan sudah kita miliki di masing-masing institusi kelautan nasional. Tinggal kapan segenap unsur terkait duduk bersama membahas masa depan kelautan nasional ini, khususnya dari aspek teknologi informasi.

Saya sudah sangat bersyukur dan gembira jika gagasan sederhana ini bergulir dan bersambut. Apalagi jika pimpinan nasional memiliki kesadaran dan kepedulian yang sama terhadap nasib laut dan kelautan nasional kita dengan segala problematikanya ini. Jika tidak, saya khawatir, anugerah maha dahsyat yang kita miliki akan menjadi surga bagi orang asing, berkah buat mereka yang tak berhak (ilegal), dan incaran bangsa lain untuk diambil (baca: direbut, dicaplok) sedikit demi sedikit. Bangsa yang besar ini akan seperti Palestina, digerogoti sedikit demi sedikit hingga kini tinggal Tepi Barat dan Jalur Gaza saja.

Apakah kita menghendaki demikian? Tentu jawabnya tidak.

SIMLAUNAS TERPADU sendiri tentu tidak menyelesaikan masalah semuanya. Tetapi sebagaimana kaidah dalam agama, maa laa yudraku kulluh, laa yutraku kulluh. Apa-apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, maka ya jangan ditinggalkan seluruhnya.

Semoga posting sederhana ini bermanfaat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang mau koment atau tambah masukan silahkan ketik ajah.